"Restorative Justice" untuk Kejahatan Keuangan

04 September 2024
"Restorative Justice" untuk Kejahatan Keuangan

KASUS skema Ponzi Madoff yang terbongkar pada akhir 2008, di Amerika Serikat, menjadi simbol kuat budaya keserakahan dan ketidakjujuran yang terjadi dalam praktik industri keuangan. Kasus yang menjerat Bernard Lawrence "Bernie" Madoff menjadi skandal keuangan terbesar dalam sejarah Amerika, bahkan dunia. “As you are aware my crime had nothing to do with causing the Financial CrisIs. It was, however, a direct reflection of the culture of Wall Street and the banking system and hedge funds. lt was easy to put a face on the Crisis, which was mine"

Kalimat itu diutarakan Madoff ketika diwawancarai secara langsung oleh Professor Colleen P. Eren, ahli kriminologi dan hukum pidana Amerika. Kisah Madoff menjadi inspirasi Professor Eren yang dituangkan dalam bukunya berjudul "Bernie Madoff and the Crisis: The Public Trial of Capitalism" yang diterbitkan Stanford University Press. Madoff menjadi pusat kemarahan dan kegaduhan publik karena memperparah resesi Amerika. Kisah Madoff menjadi magnet media karena dikonsumsi dengan rakus oleh publik yang mencari keadilan.


Madoff melakukan skema Ponzi dan menipu ribuan investor dengan total investasi sekitar 65 miliar dollar AS atau hampir setara dengan Rp 1.000 triliun. Selama resesi Amerika pada 2008, skema tersebut terbongkar karena Madoff tidak mampu memenuhi jumlah penarikan yang sangat tinggi. Madoff divonis bersalah atas penipuan investasi, pencucian uang, dan kejahatan keuangan lainnya. Madoff dijatuhi hukuman 150 tahun penjara federal dan pidana restitusi (ganti rugi), namun ia meninggal di penjara pada 14 April 2021, pada usia 82 tahun.


Belajar dari kasus Madoff, kejahatan keuangan harus diselesaikan dengan hati- hati mengingat risiko dampak sistemik yang ditimbulkan. Tidak hanya di Amerika, modus dan kasus kejahatan keuangan serupa juga "masih" sering terjadi di Tanah Air. Beberapa kasus yang menarik perhatian publik di antaranya kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya dengan total kerugian hingga Rp 106 triliun.


Kasus investasi bodong Indra Kenz dengan kerugian Rp 83 miliar dan Doni Salmanan dengan kerugian Rp 24 miliar. Kasus Asabri-Jiwasraya yang kerugiannya mencapai Rp 39,5 triliun dan berbagai kasus lainnya yang seringkali terjadi di sektor jasa keuangan seperti praktik pinjaman online (pinjol) ilegal, kredit fiktif, dan kasus fraud perbankan.


"Restorative Justice" Menariknya, kasus kejahatan keuangan "dapat" diselesaikan melalui jalur penyelesaian yang bersifat restoratif.

Kartu bebas dari penjara tersebut diakomodasi dalam Pasal 48B Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Pasal tersebut menyebutkan bahwa selain melalui jalur penuntutan pidana, penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan dapat dilakukan melalui langkah penyelesaian yang bersifat restoratif dengan mempertimbangkan stabilitas sistem keuangan, sektor jasa keuangan, dan/ atau pelindungan konsumen. Beleid tersebut memberi ruang diskresi bagi penyidik di sektor jasa keuangan (termasuk OJK) untuk memilih jalur pengadilan atau melalui praktik "Restorative Justice" untuk menyelesaikan kasus kejahatan keuangan. Namun, beleid tersebut menimbulkan pertanyaan, pada titik manakah keadilan restoratif dapat digunakan untuk kasus kejahatan keuangan? Kemudian bagaimana menyeimbangkan antara sanksi pidana dan praktik restoratif dalam penyelesaian kejahatan keuangan, agar praktik restoratif ini tidak disalahgunakan. Professor Howard Zehr, pelopor konsep keadilan restoratif menyampaikan bahwa secara filosofi, antara keadilan retribusi dan keadilan restoratif keduanya memiliki kesamaan bahwa "korban" berhak mendapatkan sesuatu dari "pelaku"


Keduanya merasa bahwa ada semacam keseimbangan yang harus dipulihkan, tetapi keduanya memiliki perbedaan dalam hal apa yang dianggap untuk dapat memulihkan keseimbangan tersebut. Keadilan retribusi berpendapat bahwa dengan hukuman akan memulihkan keseimbangan, sedangkan keadilan restoratif berpendapat bahwa dengan proses pemulihan akan menciptakan rasa keseimbangan dengan melibatkan orang yang menyebabkan kerugian mengambil tanggung jawab dan melakukan upaya untuk "memperbaiki keadaan" Dalam konteks kejahatan keuangan, pada titik manakah keadilan restoratif dapat digunakan? Perlu diketahui, terdapat enam tipologi dalam kejahatan keuangan, yang masing-masing memiliki karakteristik dan sifat tersendiri, sehingga memengaruhi penegakan hukumnya, yakni:

(1) pencucian uang; (2) pendanaan terorisme; (3) kejahatan pasar modal (penipuan, perdagangan semu, manipulasi pasar, informasi menyesatkan, dan perdagangan orang dalam); (4) kejahatan perbankan (pelanggaran kehati-hatian, pelanggaran rahasia bank, pencatatan palsu, suap); (5) kejahatan di industri keuangan non-bank (dana pensiun, asuransi, pembiayaan, lembaga keuangan mikro); (6) kejahatan di sektor keuangan digital seperti aset kripto. Sebagai contoh adalah pencucian uang sebagai tipologi pertama dari kejahatan keuangan. Tindak pidana ini merupakan extraordinary crime yang tidak hanya berdampak pada stabilitas perekonomian, tetapi juga mengancam kehidupan sosial masyarakat dan stabilitas politik negara.


Pencucian uang diibaratkan sebagai "darah kejahatan" (blood of the crime) dari berbagai tindak pidana, tidak hanya korupsi, tetapi juga berbagai tipologi dalam kejahatan keuangan. Dengan tipologi pencucian uang, maka sulit untuk dapat diselesaikan dengan praktik restoratif yang berfokus pada pemulihan korban.

Korban dari pencucian uang adalah semua masyarakat luas. Apakah korban dapat diwakili oleh penegak hukum seperti OJK, KPK, ataupun kejaksaan melalui praktik restoratif? Apabila bisa, maka hal ini justru "meremehkan" sifat kerugian mendalam dari pencucian uang. Hambatan untuk menyelesaikan kejahatan keuangan melalui praktik restoratif juga terletak pada unsur "kerugian" yang sulit untuk ditentukan.


Dalam beberapa kasus, hal itu terjadi karena kejahatan keuangan memiliki dampak ekonomi dan sosial yang tinggi. Misal dalam kasus Jiwasraya, perlu diidentifikasi berapa kerugian nasabah pemegang polis, kerugian negara, dan kerugian sosial masyarakat secara luas.

Di satu sisi kasus Jiwasraya tidak hanya kasus kejahatan keuangan, tetapi juga kasus korupsi dan persoalan fraud manajemen. Artinya, ada potensi aset Jiwasraya bukan dikembalikan ke korban, melankan dirampas untuk negara. Apabila keadilan restoratif berarti "mengembalikan sesuat", maka gagasan "pemulihan" bagi para korban gagal total. Ketika restitusi finansial "masih" menjadi tujuan utama dalam praktik restoratif, maka patut dipertanyakan apakah praktik restoratif tepat untuk kejahatan keuangan? Hal ini karena pelaku belum tentu memiliki kemampuan untuk mengembalikan semua kerugian.

Bagaimana menyeimbangkan antara sanksi pidana dan praktik restoratif dalam penyelesaian kejahatan keuangan?

Hal ini juga perlu mendapatkan perhatian serius agar praktik restoratif tidak disalahgunakan sebagai "alat pengampunan" dan "kartu bebas dari penjara". Persoalan penerapan praktik restoratif salah satunya adalah tidak adanya standar yang sama di antara penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, hingga OJK. Kriteria dan batasan kejahatan keuangan yang dapat diselesaikan melalui praktik restoratif perlu dibuat. Hampir semua hukuman dalam tipologi kejahatan keuangan bersifat ultimum remedium (hukum pidana adalah upaya terakhir), maka penyidik harus berhati- hati untuk menerapkan praktik restoratif agar tidak disalahgunakan sebagai kartu bebas dari penjara. Semua penyidik disarankan untuk memiliki standar sama untuk menentukan kriteria dan batasan kejahatan dan itu dituangkan dalam peraturan perundang- undangan. Misal, kriteria utama untuk menentukan dapat tidaknya diselesaikan melalui praktik restoratif adalah analisis dampak sistemik, jenis korban (individu, masyarakat, negara), dan nilai kerugian. Dalam kejahatan keuangan yang berat dan berdampak sistemik, penegak hukum dapat menyeimbangkan penerapan keadilan retribusi dan keadilan restoratif.

Keadilan restribusi diwujudkan melalui proses pengadilan (hukuman penjara) dan keadilan restoratif diwujudkan melalui pidana tambahan berupa restitusi ganti rugi, namun dengan catatan tidak menghilangkan pokok perbuatan melawan hukum pidananya sehingga tetap dapat dipidana. Konsep tersebut dapat kita ambil dari penanganan kasus Madoff bahwa dalam kejahatan keuangan berat, praktik restoratif dalam penerapannya lebih tepat sebagai pelengkap dari proses peradilan pidana.